Dunia Pengetahuan - Pada kesempatan ini saya akan berbagi tentang Contoh Makalah Ba'i Istisha dimana makalah ini mempelajari tentang semua dunia perdagangan, serta pada makalah ini juga mempelajari tentang hukum-hukum dalam jual beli secara islam yang benar.
Makalah ini dibuat oleh salah satu mahasiswa di salah satu universitas di lampung, tepatnya di salah satu universitas kota metro, dimana kota metro memang terkenal akan pendidikannya. Nama pembuatnya sendiri adalah Wahyu Mustofa Indah.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kampus yang di buat dan dicetak pada tanggal 18 Juni 2015. Makalah ini sengaja saya bagikan dengan tujuan untuk memberikan contoh kepada teman-teman agar dapat membuat makalah tentang Makalah Ba'i Istishna dan bisa temen-temen pelajari.
Berikut adalah Cotoh Makalah, Cotoh Makalah Ba'i Istishna
BAB I
LATAR BELAKANG
Secara istilah ialah akad jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.
Menurut pandangan ulama :
Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah
Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.
RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana penerapan rukun dan syarat ba’i istishna?
- Bagaimana aplikasi ba’i istishna?
TUJUAN
- Mengetahui pengertian dan dasar hukum ba’i istishna
- Mengetahui rukun dan syarat ba’i istishna
- Mengetahui aplikasi ba’i istishna
- Mengetahui skema ba’i istishna
A. Pengertian
Berasal dari kata (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sindan ta’ menjadi (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Secara istilah ialah akad jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.
Menurut pandangan ulama :
1. Mazhab Hanafi
sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.
2. Mazhab Hambali
Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan.
3. Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah
Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Contoh Istishna’ :
Seseorang memesan sepatu berbahan kulit ke tukang sepatu dengan harga x rupiah,untuk pembayaran bisa dilakukan secara cash,cicilan,atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu, tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.
4. Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
5. Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.
B. Landasan hukum atau dalil
Alqur’an
Al-baqarah 275.
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
275. orang-orang yang
Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba
nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang
dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam
masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak
tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun
ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Al-Hadist
عَنْ أَنَسٍ
رضي
الله
عنه
أَنَّ
نَبِىَّ
اللَّهِ
ص
كَانَ
أَرَادَ
أَنْ
يَكْتُبَ
إِلَى
الْعَجَمِ
فَقِيلَ
لَهُ
إِنَّ
الْعَجَمَ
لاَ
يَقْبَلُونَ
إِلاَّ
كِتَابًا
عَلَيْهِ
خَاتِمٌ.
فَاصْطَنَعَ
خَاتَمًا
مِنْ
فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى
أَنْظُرُ
إِلَى
بَيَاضِهِ
فِى
يَدِهِ.
رواه
مسلم
Artinya Dari
Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non Arab, lalu dikabarkan kepada beliau
bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan
cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau
putih di tangan beliau."
(HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini
menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.
Mengingat
Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara umum dasar
hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’
al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan”
Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.[2]
Menurut
Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena
bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual,
Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki
penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas
dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
a.
Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan
terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’
al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
b.
Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’ ulama.
c.
Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat.
Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga
mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk
mereka.
d.
Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan
kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer
berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum
syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan
barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan
perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan
pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang
tersebut.
C.
Rukun
dan syarat
Dalam jual beli
istishna’, terdapat rukun yang harus dipenuhi, (mustashni’) yakni pihak yang
membutuhkan dan memesan barang. Dan
shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan, barang/objek
(mashnu’) dan sighat (ijab qabul). Disamping itu, ulama juga menentukan
beberapa syarat untuk menentukan sahnya jual beli istishna’. Syarat yang
diajukan ulama untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna’ adalah:Adanya
kejelasan jenis, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi
yang harus di ketahui spesifikasinya.[3]
Merupakan barang yang
biasa ditransaksikan/berlaku dalam hubungan antarmanusia. Dalam arti, barang
tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam kehidupan manusia,
seperti barang property, barang industry dan lainnya.
Tidak boleh adanya
penentuan jangka waktu, jika jangka waktu peyerahan barang ditetapakan, maka
kontrak ini akan berubah menjadi akad salam, menurut pandangan Abu Hanifah.
Ketentuan Objek (barang) dalam istishna’ :
1)
Harus
jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2)
Harus
dapat dijelaskan spesifikasinya.
3)
Penyerahannya
dilakukan kemudian.
4)
Waktu
dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Pembeli tidak
boleh menjual barang sebelum menerimanya
Sebagai bentuk jual beli forward, istishna’ mirip dengan salam.
Namun ada beberapa perbedaan di antara keduanya, antara lain :
·
Objek
istishna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa untuk
barang apa saja,baik haru diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi terlebih dahulu.
·
Harga
dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan harga dalam akad
istishna tidak harus di bayar penuh di muka, melainkan dapat dicicil atau dibayar di belakang.
·
Akad
salam efektif tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara dalam istishna
akad dapat diputuskan sebelum
perusahaan mulai memproduksi.
·
Waktu
penyerahan tertentu merupakan bagian terpenting dari akad salam , namun dalam
akad istishna tidak merupakan keharusan.[4]
D.
Aplikasi
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’,
bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk
melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’
kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di
kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan
syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama
antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad
pertama sah. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak
pararel. Diantaranya sebagai berikut.
·
Bank
Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau
subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai
shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak
pararel.
·
Penerima
subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank
Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung
dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan
kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak
pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum sama
sekali.
·
Bank
sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang
timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel,
juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.[5]
Contoh Kasus
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan
kostum tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh
pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum biasanya Rp
4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan harga Rp
38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok
pembuatan kostum. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per
kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5%
dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan
dijual kepada pembeli dengan harga pasar.
E.
Skema
BAB III
Kesimpulan
Dalam sebuah
kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan
subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat
dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada
kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’
pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan
subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b)
akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah. Ada beberapa konsekuensi saat
bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
·
Bank
Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau
subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai
shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak
pararel.
·
Penerima
subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank
Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung
dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan
kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak
pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum sama
sekali.
·
Bank
sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang
timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel,
juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar
Fiqh Muamalah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank
Syariah dari teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Itulah Contoh Makalah, Cotoh Makalah Ba'i Istishna semoga contoh makalah ini bermanfaat